Kebetulan gw tinggal di daerah Tangerang coret, bahasa halusnya kawasan Tangerang yang sedang berkembang dan akan tenar setelah daerah Serpong mengalami titik jenuh -ngarep-. Anyway, di daerah gw yang sebenarnya udah masuk kategori Banten ini -walau nama gag sekece DKI Jakarta, setidaknya rumah gw belum mengadopsi kemacetan & kebanjirannya-nya Jakarta- sebenarnya dekatlah dengan daerah Pantai. Yang cukup tenar sejak dahulu kala, entah kapan awal mulanya, tapi gw udah ngeh sama lokasi ini sejak SD, adalah Pantai Carita dan Anyer yang tetanggaan gitu deh sebenarnya. Berbondong-bondong orang ke sana, kecuali gw, entah kenapa keluarga gw gag kece gag doyan-doyan amat ke sana. Jadilah gw manusia tertinggal yang sudah bertahun-tahun, mungkin 6 tahun lebih, tidak menginjakkan kaki di pantai daerah Banten sini. Oh, kalau pantai-pantai di Bali sih sering -lha...songong!-.
Pada suatu ketika nih, rekan-rekan sejawat yang entah kenal di mana tiba-tiba ngajak berkunjung ke Sawarna, masih di kawasan Banten juga. Sebenarnya udah sempat dengar-dengar sih tentang pantai baru yang mulai tenar di tahun 2012-an ini. Cuma kan kabar-kabarnya akses ke sana itu pas-pasan banget, jauh dan menantang. Jadilah kunjungan ke Sawarna yang katanya menawan hati itu hanya jadi keinginan terpendam semata. Untung gw pantang menyerah dan terus berdoa -ehh..boong-, sampai akhirnya di Februari 2013 lalu terwujud sudah cita-cita menginjakkan kaki di tanah Sawarna.
Perjalanan dimulai Jumat malam -bukan malam Jumat karena itu horror banget- sekitar pukul 22.00 dari lokasi yang katanya lagi tergolong kawasan berkembang di Tangerang -baca: Serpong-. Dengan tekad bulat dan dana kuat -amin!-, pergilah kami ber-10 menuju Sawarna dengan menggunakan 2 kendaran pribadi bukan punya gw. Niat awalnya sih nyetirnya ganti-gantian gitu, secara perjalanan kabarnya 6-7 jam di tengah malam buta lagi. Tapi niat tinggallah niat, sepanjang jalan menuju Sawarna nyaris semua orang tertidur dengan pulasnya menyisakan 2 driver kawakan -kalau siang kerjanya sopir kantor, kalau malam nyambi sopir taksi- dan beberapa manusia malam yang membawa kami ke alam Sawarna -alam gaib kali-.
Pokoknya gw sadar-sadar udah sampailah itu di Kawasan Desa Sawarna, sekitar pukul 04.00 di hari Sabtu. Masih setengah sadar dan harus bawa cukup banyak bawaan, gw dibuat trauma cukup mendalam dengan kenyataan kalau akses ke homestay itu harus melewati sebuah jembatan gantung. Astaga! Itu jembatan goyang-goyang heboh dilewati oleh rombongan orang dengan beban bawaan seabrek-abrek, di tengah gelapnya subuh lagi. Mana di kiri kanan cuma dihalangi dengan tali-tali yang berjarak besar-besar hingga gw yakin badan orang juga muat masuk sana terus nyemplung ke kalinya. Itu serem mampus!
Sayangnya saking terbius dalam ketegangan setiap melewati jembatan itu, walaupun udah beberapa kali lewat, gw selalu lupa/takut buat foto penampakannya. Padahal sebenarnya ketahanan jembatan Sawarna itu sudah teruji lho harusnya karena kerapkali dilewati oleh lalu lalang motor juga. Tapi apa daya, pengalaman di Serpong mengajarkan untuk ahli menyeberang jalan raya tanpa lewat jembatan penyeberangan, pantas kalau gw gag punya skill untuk menyeberang jembatan gantung.
Sudahlah, yang penting pada akhirnya gw berhasil mencapai lokasi homestay di mana rombongan akan menginap hingga hari Minggu. Biaya menginap di sini cukup murah lho, sudah termasuk makan 4x (Sabtu-Minggu) hanya dihargai Rp 140.000/kepala. Lokasi menginap di Homestay Elsa.
Namun kalau ditanya bagaimana kondisi penginapannya? Gw hanya bisa mengelus dada, mengingatkan pada masa-masa suram ketika terpaksa harus menginap di Gili Trawangan dengan tarif Rp 150 ribu/malam dengan mengatasnamakan semangat backpacker. Kebersihan, sudahlah lupakan saja. Kasur dan sprei tentu seadanya, kamar lembab dan udara panas karena tidak ada air conditioner, kondisi kamar mandi cukuplah -dalam artian gag menemukan cacing atau kecoa dan gag harus nimba air sendiri dari sumur- walau airnya cukup irit. Namun setidaknya kami mendapatkan makanan dengan menu yang lumayanlah, bisa untuk menyambung hidup hingga kembali ke kehidupan nyata.
(Bersambung)
0 comments:
Post a Comment