Pages

Ads 468x60px

Friday, April 26, 2013

Menengok Wisata Tetangga : Sawarna Part I

Kebetulan gw tinggal di daerah Tangerang coret, bahasa halusnya kawasan Tangerang yang sedang berkembang dan akan tenar setelah daerah Serpong mengalami titik jenuh -ngarep-. Anyway, di daerah gw yang sebenarnya udah masuk kategori Banten ini -walau nama gag sekece DKI Jakarta, setidaknya rumah gw belum mengadopsi kemacetan & kebanjirannya-nya Jakarta- sebenarnya dekatlah dengan daerah Pantai. Yang cukup tenar sejak dahulu kala, entah kapan awal mulanya, tapi gw udah ngeh sama lokasi ini sejak SD, adalah Pantai Carita dan Anyer yang tetanggaan gitu deh sebenarnya. Berbondong-bondong orang ke sana, kecuali gw, entah kenapa keluarga gw gag kece gag doyan-doyan amat ke sana. Jadilah gw manusia tertinggal yang sudah bertahun-tahun, mungkin 6 tahun lebih, tidak menginjakkan kaki di pantai daerah Banten sini. Oh, kalau pantai-pantai di Bali sih sering -lha...songong!-.

Pada suatu ketika nih, rekan-rekan sejawat yang entah kenal di mana tiba-tiba ngajak berkunjung ke Sawarna, masih di kawasan Banten juga. Sebenarnya udah sempat dengar-dengar sih tentang pantai baru yang mulai tenar di tahun 2012-an ini. Cuma kan kabar-kabarnya akses ke sana itu pas-pasan banget, jauh dan menantang. Jadilah kunjungan ke Sawarna yang katanya menawan hati itu hanya jadi keinginan terpendam semata. Untung gw pantang menyerah dan terus berdoa -ehh..boong-, sampai akhirnya di Februari 2013 lalu terwujud sudah cita-cita menginjakkan kaki di tanah Sawarna.

Perjalanan dimulai Jumat malam -bukan malam Jumat karena itu horror banget- sekitar pukul 22.00 dari lokasi yang katanya lagi tergolong kawasan berkembang di Tangerang -baca: Serpong-. Dengan tekad bulat dan dana kuat -amin!-, pergilah kami ber-10 menuju Sawarna dengan menggunakan 2 kendaran pribadi bukan punya gw. Niat awalnya sih nyetirnya ganti-gantian gitu, secara perjalanan kabarnya 6-7 jam di tengah malam buta lagi. Tapi niat tinggallah niat, sepanjang jalan menuju Sawarna nyaris semua orang tertidur dengan pulasnya menyisakan 2 driver kawakan -kalau siang kerjanya sopir kantor, kalau malam nyambi sopir taksi- dan beberapa manusia malam yang membawa kami ke alam Sawarna -alam gaib kali-.

Pokoknya gw sadar-sadar udah sampailah itu di Kawasan Desa Sawarna, sekitar pukul 04.00 di hari Sabtu. Masih setengah sadar dan harus bawa cukup banyak bawaan, gw dibuat trauma cukup mendalam dengan kenyataan kalau akses ke homestay itu harus melewati sebuah jembatan gantung. Astaga! Itu jembatan goyang-goyang heboh dilewati oleh rombongan orang dengan beban bawaan seabrek-abrek, di tengah gelapnya subuh lagi. Mana di kiri kanan cuma dihalangi dengan tali-tali yang berjarak besar-besar hingga gw yakin badan orang juga muat masuk sana terus nyemplung ke kalinya. Itu serem mampus!

Sayangnya saking terbius dalam ketegangan setiap melewati jembatan itu, walaupun udah beberapa kali lewat, gw selalu lupa/takut buat foto penampakannya. Padahal sebenarnya ketahanan jembatan Sawarna itu sudah teruji lho harusnya karena kerapkali dilewati oleh lalu lalang motor juga. Tapi apa daya, pengalaman di Serpong mengajarkan untuk ahli menyeberang jalan raya tanpa lewat jembatan penyeberangan, pantas kalau gw gag punya skill untuk menyeberang jembatan gantung.

Sudahlah, yang penting pada akhirnya gw berhasil mencapai lokasi homestay di mana rombongan akan menginap hingga hari Minggu. Biaya menginap di sini cukup murah lho, sudah termasuk makan 4x (Sabtu-Minggu) hanya dihargai Rp 140.000/kepala. Lokasi menginap di Homestay Elsa.

Namun kalau ditanya bagaimana kondisi penginapannya? Gw hanya bisa mengelus dada, mengingatkan pada masa-masa suram ketika terpaksa harus menginap di Gili Trawangan dengan tarif Rp 150 ribu/malam dengan mengatasnamakan semangat backpacker. Kebersihan, sudahlah lupakan saja. Kasur dan sprei tentu seadanya, kamar lembab dan udara panas karena tidak ada air conditioner, kondisi kamar mandi cukuplah -dalam artian gag menemukan cacing atau kecoa dan gag harus nimba air sendiri dari sumur- walau airnya cukup irit. Namun setidaknya kami mendapatkan makanan dengan menu yang lumayanlah, bisa untuk menyambung hidup hingga kembali ke kehidupan nyata.

(Bersambung)


Saturday, April 13, 2013

LOMBOK MENANTANG 3


Day 3:

Pagi ini dapat sarapan di hotel -yeay!-, lumayan gag usah keluar uang buat makan pagi lagi. Rencana hari ini ke Tanjung Aan dan melihat rumah-rumah adat suku Sasak. Berangkan dari hotel pukul 9.30 sekalian check out karena katanya lokasi wisata itu lebih dekat ke bandara daripada ke hotel, jadi kita pikir sekalian balik bandara aja deh nanti.

Nyalakan GPS, dan meluncurrrr!!! Eh! Ternyata kita disesatkan sama GPS itu! Setelah telpon ke mas driver dan niat komplain, dijelaskanlah kalo lokasi Tanjung Aan itu belum ter-cover oleh GPS. Untung semalam udah sempat bertanya sama mas-mas hotel kira-kira lokasinya. Dengan modal nekad dan semangat -caeeelahhhh-, kita tempuhlah jarak sekitar 1,5 jam dari kota Mataram.

Sewaktu berangkat ternyata melewati Desa Sade tempat suku Sasak bermukim. Akhirnya diputuskan untuk mampir dahulu ke sana. Dengan seorang tour guide yang adalah penduduk asli Desa Sade itu, kita pun diantar berkeliling melihat rumah adat asli suku Sasak. Boleh poto-poto, boleh juga kalo mau belanja kain hasil tenunan suku Sasak, boleh nginep juga gag ya -yang ini tanya aja sendiri-.



Yang menarik dari sini, selain bentuk rumahnya yang unik tentunya, adalah kisah 'kawin culik' yang masih terjadi di tengah masyarakat adat ini. Jadi katanya sih kalo ada dua sejoli yang sudah berbagi hati -alamak...gw geliii ama kata-kata gw sendiri- dan yakin untuk meneruskan ke jenjang pernikahan, mereka berdua bakal lari dari kampung itu. Nah, besoknya tuh kan orang tuanya bakal heran ke mana nih anaknya koq gag pulang-pulang, apa mereka ngambek ya gag dibeliin ipad -maaf gw ngelantur-. Ketika ada dua keluarga yang mendapati anak mereka hilang -cowok-cewek lho ya, bukan yang sejenis-, mereka sadar kalo kedua anak mereka sudah pacaran dan mau menikah. Lalu kedua manusia yang sedang dimabuk asmara itu akan disuruh kembali ke kampung untuk kemudian menikah -yeay!- and live happily ever after -d.o.n.g.e.n.g!-.

Ya sebenarnya gw gag ngerti juga sih gimana ya cara mereka kabur, terus gimana ya cara menghubungi mereka buat balik -kalo bisa dihubungi kan berarti pas kabur ada orang dalam yang bantuin mereka dan jadi kontak mereka-, terus ngapain aja ya mereka pas menghabiskan malam bersama di pelarian itu -eh?! stop yak sampe sini-. Yang menarik lagi, sebagai cewek asli suku Sasak, harus bisa menenun dulu lho dengan mahir sebelum boleh menikah. Apabila tidak, siap-siaplah kau dimusuhi mertuamu -serem lho sumpah!-. Kata si mas tour guide-nya itu sih cewek di sana biasa menikah di usia 15, kalo cowoknya 20-25, muda ya :D.

Seorang cewek suku Sasak sedang belajar menenun

Yang bikin gw sempat agak-agak mules gimana gitu, ternyata mereka ngepel rumahnya itu pakai kotoran kerbau lho! Oh my! Terus rumahnya juga simple abis, jadi kayak ada ruang depan dan ruang belakang. Ruang depan itu tempat tidur ayah-ibu dan anak cowok. Kalo ruang belakang itu buat dapur, tempat melahirkan -serius gw pening waktu dibilang yang bantuin melahirkan dukun di ruangan seada-adanya itu-, dan tempat tidur anak cewek. Piuuhhh...memang agak sulit buat gw mengerti ketika harus menengok kehidupan yang demikian. Tidak, tidak ada yang salah dengan hidup mereka karena toh mereka hanya melestarikan tradisi yang kian lama kian terkikis zaman. Tapi yah... memang sulit saja untuk gw mengerti.

Di Desa Sade ini, di dekat pintu masuk-keluar-nya disediakan satu kotak sumbangan. Bagi para wisatawan boleh memberikan seikhlasnya saja. Gw sih ikut-ikutan aja ama tulisan yang di atas-atas gw. Terus buat mas tour guide-nya, ya diberi tips serelanya saja ya. Daripada ngasihnya gag rela, gag jadi berkat ntar.

Perjalanan pun dilanjutkan menuju Tanjung Aan yang katanya sih tinggal 7km-an dari Desa Sade. Matahari semakin tinggi dan menyengat, mendadak kepikiran: ihiy,,,siang-siang bolong ke pantai lagi, kering deh kayak jemuran. Ternyata agak sulit juga menemukan letak Tanjung Aan itu, apalagi tanpa bantuan mbak GPS. Intinya sih ya, coba aja deh ke arah Hotel Novotel Kuta, dari sana yaaa...lo berdoa aja banyak-banyak.

Menuju Tanjung Aan itu melewati Pantai Kuta, ini Kuta-Lombok ya, yang ternyata gag ramai lho! Emang nih low season begini kayak gag niat hidup ni daerah. Udah gitu,lagi-lagi makanan susah lho! Eee...kalo mau asal tempat makan sih ada ya, cuma entah kenapa agak kurang meyakinkan aja buat gw. Akhirnya setelah sotoy mampus dan disesatkan oleh seorang bapak tua, yang kayaknya gag ngerti Bahasa Indonesia, ketemulah itu yang namanya Tanjung Aan. Lebih sepi mampus deh.

Di tengah teriknya matahari, karena perjuangan kita untuk sampai ke sini sudah begitu berat -padahal gw tinggal duduku doank lho di mobil, apalagi yang nyetir yak..hihi-, pokoknya gag mau tau harus poto-poto. Ya, buat pamer aja ke orang-orang: nih, gw udah pernah ke sini lho! Soal mau balik lagi atau enggak urusan belakang. Hihi. Sebenarnya pemandangan di sana bagus, cuma karena terlalu sepi rasanya jadi gag hidup aja, agak ngeri malah. Mana ban mobil si Estilo sempat terjebak di pasir lagi -pas bagian ini agak deg-degan gag bisa balik lagi-, untung masih terselamatkan.


Di Tanjung Aan ini ada batu yang tinggi dan ada tangga-tangga ke atasnya gitu. Sebenarnya ngeri sih naik ke sana, apalagi turunnya -kalo menurut gw lho-, tapi demi memuaskan rasa penasaran dan yahhh...belum tentu tahun depan gw ke sini lagi kan ya, lanjutkan saja! Poto-poto, jepret-jepret, yes! Yang bikin gw deh-degan -lagi-, udah kayak hobi ya, pas turun tangganya. Entah kenapa kepikiran: tamat deh nih hidup gw kalo kepleset trus jatoh dari tangga ini. Haha! Gag ngerti kenapa deh hidup gw berasa horror mulu 3 hari itu.




Udah kelar acara kunjungan wisata, ternyata masih setengah 1 siang. Mati gaya juga kalo bengong di bandara dari sekarang, padahal flight baru jam 6 sore. Mending kalo bandaranya pewe, lha ini masih berantakkan gitu. Oh, lupa sebut tadi, di bandara itu banyak orang hobi datang berbondong-bondong untuk mengantar kerabatnya yang naik pesawat -ini benar-benar berbondong-bondong abis deh- ataupun sekedar melihat pesawat take off ataupun landing. Akibatnya BIL pun udah kayak tempat tujuan wisata gitu, gag kayak bandara lagi deh -geleng-geleng kepala bingung-.

I dont know if I have to be happy or sad, I guess I'm happy that I could end this 'challenging' trip, but then I'm sad because I have to go back to work. No matter how 'challenging' a trip is, it's always better than working :D :D.


Monday, April 1, 2013

LOMBOK MENANTANG 2

(Masih) Day 1:
Setelah menginjakkan kaki dengan selamat di daratan Trawangan, katakanlah saat itu sekitar pukul 4 sore, didesak oleh perut yang lapar, tempat makan pun menjadi tujuan utama gw dan teman-teman. Trawangan ini agak-agak mirip Kuta Bali, soal makanan didominasi kafe-kafe untuk tamu-tamu bule, termasuk soal kisaran harga. Yang agak menghibur adalah sejauh mata memandang, isinya bule semua -nyaris 80%-, dan dari semua bro-bro -maafkan kenorakan saya- itu 70% nya cakep semua. Mata gw sehat deh, aseli!

Perut kenyang hati senang. Well, well, maybe that doesnt work that way this time! Perut sih kenyang, tapi masih trauma oleh kejadian 'apa-apa charter' yang sepanjang hari tadi terjadi, akhirnya kita memutuskan untuk mencari penginapan sendiri dengan segala daya dan upaya, gag mau pake mas-mas calo atau apapun itu. Langkah pertama, sewa sepeda. Dengan 40rb saja bisa mendapatkan pinjaman sepeda selama 24 jam, boleh dibawa ke mana saja dan gag perlu dipasang kunci pengaman, aman! -ya emang mau ke mana juga sih, gag mungkin bawa-bawa sepeda nyebrang laut kan-.




Muter-muter, kepala pening karena ternyata belum menemukan penginapan yang sesuai dengan keinginan. Kalo ditanya, memang maunya yang gimana? Pertama, murah as in di bawah 200rb. Kedua, kamar mandi dalam. Ketiga, no cicak -haha...yang ini sih gara-gara ada teman gw yang phobia cicak gitu-. Semakin sore , akhirnya menyerah deh sok-sok nyari sendiri, tanya orang tanya orang, kira-kira begitulah keputusan kita saat itu. Dan akhirnya ditunjukkanlah oleh seorang mas, satu penginapan apa adanya -benar-benar apa adanya deh- seharga 150rb/malam. Kita tengak-tengok dan pikir-pikir: murah, kamar mandi dalam, gag ada cicak. Oke, ambil! Walau akhirnya agak disesali karena keesokan harinya ketauan kalo harga kamarnya sebenarnya 100rb saja per malam, dan di malam hari itu, cicak-cicak justru pada bermunculan dan bikin teman gw yang satu itu heboh berat. 



Wujud Penginapan 150rb/malam w/ fan


Sisa hari ini dihabiskan dengan bersepeda keliling pulau -gag benar-benar abis satu keliling sih, kesorean-, nongkrong-nongkrong di salah satu cafe yang ada dan ber  ramah tamah dengan mas-mas Trawangan itu. 
Karena salah tempat, sunset di Trawangan pun terlewatkan.









Untuk menekan segala pengeluaran yang sudah terjadi hari itu -kan tadi udah gw bilang, gw dan teman-teman itu hemat a.k.a kere-, malamnya kita cukup makan gerobakan. Jadi kalo malam di satu arena di Trawangan sana ada kumpulan para pedagang makanan, seperti nasi goreng tek-tek, soto, ayam goreng/bakar, seafood, sate, martabak, dan macam-macam makanan indonesia lainnya. Fyi, bro-bro dan sis-sis bule itu excited makan di sana, padahal tadinya gw pikir mereka alergi yang kotor-kotor + ngemper-ngemper.

Mengakhiri malam di Trawangan cukup dini kalo menurut versi teman gw yang hobi jadi kalong tidur subuh, cukup larut kalo menurut versi gw yang hobi jadi kebo tidur jam 9 teng. Apapun itu, menurut opini pribadi gw sih, malam minggu di Trawangan kurang begitu menarik. Entah memang saat itu wisatawan kurang banyak atau memang begitulah kehidupan malam di Trawangan yang jauh dari jedag-jedug ala Kuta/Seminyak. I dont know, yang pasti satu hari sudah berlalu, dan teman gw yang phobia cicak itu sungguh sangat mengganggu di malam itu karena dia gag bisa tidur saat cicak-cicak mulai bermunculan di malam hari. Hihi!

Day 2:
Bangun pagi berencana untuk snorkeling, kata orang-orang gag afdol ke Trawangan tanpa snorkeling. Setelah sarapan murah meriah -gag murah-murah amat juga karena setiap orang diitung rata 10rb, padahal teman gw makannya cuma nasi+orek tempe, untung gw masih pake telor-, tanya-tanyalah ke sana-sini soal sewa alat untuk snorkeling, 30 rb saja untuk kaca mata dan kaki-kaki ikan/fin.

Sebenarnya kita ditawarin untuk ikut paket snorkeling 3 Gili: Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air seharga 85rb saja. Sayangnya acara itu berlangsung pukul 10.30-15.30. Resikonya bisa ketinggalan kapal untuk balik ke Lombok karena katanya kapal terakhir pukul 4 sore. Akhirnya gw dan teman-teman memutuskan untuk sewa alatnya aja dan snorkeling sendiri. Sebenarnya di antara kita bertiga sih belum ada yang pernah snorkeling ya, jadilah kita ber-sotoy ria.


Menurut gw aktivitas yang satu ini menarik juga, mungkin memang benar akan lebih bagus kalo dilakukan di tengah laut dan dengan variasi ikan yang lebih beragam untuk dilihat. Di daerah pinggiran lautnya aja masih bisa melihat ikan-ikan lucu, masih jernih juga laut di sini ternyata. Setelah sok-sok akrab sama ikan, padahal lagi mikir kayaknya lihat ikan di Sea World lebih simple deh -haha-, kembalilah kita ke penginapan untuk siap-siap balik ke Lombok. Kalo kemarin salah satu teman gw heboh sama cicak, sekarang teman gw yang lain heboh karena kulitnya belang padahal dia selama ini sangat menjaga kulitnya supaya bisa putih . Besok-besok kita liburannya indoor aja deh...

Sebelum menyeberang, menyempatkan diri untuk makan siang di tempat pertama kali kita makan waktu datang. Bukan apa-apa sih, mungkin karena udah ada perasaan familiar dan ya...harganya memang terjangkau sih di sana. Takut nanti coba-coba temat baru kantong jebol lagi. Hihi. Makan siang ditutup dengan es krim gelato Gili Trawangan -homemade- seharga 15rb saja/scoop atau 25rb/2scoops.

Untungnya sewaktu kita mau beli tiket kapal untuk menyeberang pas kapalnya udah lumayan penuh. Gag pake nunggu lama, gag pake 'diancam' masih 2 jam lagi lho, cukup keluar 10rb saja dan bye-bye Trawangan! Oh, untuk info saja, kalo di Gili Trawangan tempat jual tiketnya jelas dan diumumkan lewat pengeras suara masih perlu berapa orang lagi sebelum kapal berangkat, dan kalo belum ada di kapal pun akan dipanggil untuk segera naik karena kapal akan segera jalan. Lumayan teraturlah.

Empat puluh menit kembali berlalu dan perasaan gw sih waktu kembali ini ombaknya lebih tinggi karena air laut sempat beberapa kali muncrat ke dalam kapal. Sepanjang jalan doanya dua hal aja: jangan sampai kebalik ataupun mogok. 

Sesampainya di Pelabuhan Bangsal masih harus menunggu kedatangan mobil yang kita sewa untuk 24 jam ke depan. Rencananya memang untuk setengah hari ini dan hari esok mau bawa mobil sendiri keliling Lombok, gag mau pake driver bukan karena biar lebih bebas, tapi biar lebih irit aja sih. Haha! Dan kebetulan ada teman yang bersedia jadi driver tanpa bayaran. Untuk sewa mobil tarifnya 250rb/24 jam, gw rekomendasikan abis dengan si "Mahardika Travel" ini, yang punyanya baik mampus, driver yang nganternya juga sopan abis. Perasaan gw selama di Lombok cuma 2 manusia ini yang gag teriak-teriak "charter ya charter" -gubrakkk!-.

Karena memang kita sampainya kecepatan, jadilah mobilnya belum datang dan langsunglah gw ditawar-tawarin buat charter mobil ke manapun kita mau pergi. Udah dijawab lagi nunggu jemputan juga tetap aja keukeuh manusia-manusia itu menawarkan diri. Woiii mas, gag tau udah ditolak apa? Ah entahlah, mungkin mereka memang marketing sejati atau BU (butuh uang) sejati.

Setelah serah terima mobil dilakukan oleh mas driver kepada mbak driver a.k.a teman saya yang kecil tapi nyalinya besar itu kecuali sama cicak, melajulah kita menuju Mataram. Untung mobilnya dilengkapi GPS, kalo enggak bisa gila juga nanya-nanya jalan tiap saat. Ntar tiap nanya disuruh bayar lagi, atau disuruh sewa mereka jadi driver lagi -maap yak, gw memang agak sensi gara-gara pengalaman hari pertama-. Jalan yang ditempuh waktu pulang berbeda dari waktu berangkat -ini gara-gara petunjuk mbak GPS-. Pas berangkat lewat Senggigi dengan pemandangan laut, jalan berliku dan lebar; pas pulang entah lewat daerah apa dengan pemandangan pepohonan, jalan berliku dan sempit. Persamaannya: dua-duanya gag pake macet.

Hotel di Mataram sudah di-booking dari kapan tau, hotelnya di tengah kota, dan kali ini jauh lebih beradab dari penginapan di Trawangan. Kamarnya lebih bagus, ada AC-nya, dapat sarapan dan cicaknya gag banyak -tadinya mau bilang bebas cicak, tapi ternyata teman gw nemu satu pas lagi di kamar mandi-. Oh, soal harga sih lumayanlah, 275rb/malam -75rb-nya untuk tambahan xtra bed-. Tadinya kita mau spend 2 malam di Mataram, cuma karena saran dari seorang teman, akhirnya kita berubah rencana 1 malam di Gili dan 1 malam di Mataram, karena katanya kalo malam udah kayak kota mati di sini, sepiii. Mungkin benar juga sih, soalnya sepanjang siang-sore aja jalanan lengang-nya luar biasa. Apa karena gw udah agak kebiasaan menjadi korban jalanan ibu kota ya sampai menurut pengamatan gw kota Mataram ini sepi lho! Atau karena saat itu di sana hari Minggu, entahlah.
Penampakan Hotel di Mataram - Manusiawi banget!
Sorenya gw dan teman-teman mengunjungi Taman Narmada, atas rekomendasi mbak-mbak hotel, yang jaraknya sekitar 10km dari Mataram. Tempat ini katanya sih dulunya tempat peristirahatan raja-raja, ada kuilnya gitu sih, kolam, bangunan tempat tinggal raja, dan yang agak menarik perhatian adalah air yang bikin awet muda. Pas masuk -HTM 5 rb saja- dan baca tulisan tentang air itu sebenarnya udah kepo abis pengen liat wujudnya, sayang ternyata disimpan di dalam bangunan terkunci. Katanya sih kalo mau ambil bisa dibukakan kuncinya, tapi kita tolak dengan 2 pertimbangan: serem juga ya bangunannya & nanti disuruh bayar lagi -keliatan kan betapa desperate-nya kalo udah urusan duit?-.




Seperti sempat gw sebutkan sebelumnya entah kenapa kayaknya susah banget cari makan di sini, apa mungkin kalo hari Minggu banyak yang libur kali ya. Nah, daripada kebingungan lagi mau makan di mana, kita putuskan ke mall aja deh, sekalian cek &ricek kondisi mall di sana sih. 

Malam di Mataram diakhiri jauh lebih cepat daripada di Trawangan. Udah clueless mau ngapain lagi walaupun mas-mas hotel sempat memberi info beberapa tempat anak-anak muda Mataram berkumpul. Tidur nyenyak aja ah di hotel, menikmati suasana hotel yang lebih manusiawi daripada penginapan semalam.

(bersambung...)
 

Music

Sample text

Visitors


widgeo.net